Di
sekitar tahun 70-an minat terhadap gitar kasik di Indonesia sempat
meledak. Dalam waktu yang relatif singkat jumlah peserta kursus gitar
melonjak drastis dan sekolah-sekolah musik swasta yang mengakomodasi
para peminat gitar menjamur di mana-mana. Kondisi pergitaran di
Indonesia yang mendadak sehat ini telah mengundang perhatian dunia gitar
internasional yang dibuktikan dengan digelarnya konser-konser gitaris
dunia di Indonesia dan datangnya bantuan-bantuan pendidikan dan material
dari negara-negara berkembang seperti Jepang dan Belanda. Perhatian
inipun disambut oleh pemerintah Indonesia dengan dibukanya
program-program pendidikan gitar secara resmi, mulai dari
sekolah-sekolah dan institusi-institusi kejuruan musik hingga perguruan
tinggi.
Latar belakang popularitas gitar dalam masyarakat Indonesia
Minat yang besar pada anak-anak muda Indonesia terhadap gitar dan
kepopuleran gitar itu sendiri tentunya tidak semata-mata tumbuh begitu
saja. Sebelum dibukanya kursus-kursus gitar pada sekitar tahun 70-an,
gitar dan alat-alat musik yang mirip gitar sudah lama digunakan di
negeri ini. Gitar telah dikenal sejak lama dalam ensembel Keroncong dan
bahkan dalam kesenian tradisional Cirebon, Tarling (kependekan kata dari
gitar dan suling), yaitu seni tari yang diiringi oleh duet gitar
berukuran standar dan seruling bambu. Kepopuleran gitar di Indonesia
juga didukung oleh keberadaan berbagai alat musik lain yang memiliki
kemiripan dengan gitar, yang telah lama ada sebelum gitar masuk ke
Indonesia. Alat musik tersebut di antaranya ialah gitar tradisional
berdawai tiga yang disebut Sampek dari Kalimatan Timur, dan beragam
model gitar tradisional berukuran kecil yang berdawai dua yaitu Hasapi,
Kulcapi, dan Husapi, dari Sumatra Utara.
Di samping itu gitar juga telah turut berjasa membangkitkan semangat
rakyat dalam memperjuangkan cita-cita keagungan bangsa Indonesia. Hal
tersebut terjadi pada penyelenggaraan Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober
1928 dimana gitar digunakan sebagai instrumen pengiring dalam
pengumandangan perdana lagu himne nasional “Indonesia Raya”.
Gitar adalah alat musik yang populer dan benar-benar telah merakyat
terutama di kalangan para remaja dan pemuda kita. Maka bukanlah hal yang
asing jika kita melancong ke daerah-daerah di indonesia, seperti
Maluku, Timor dan Batak, kita akan mendengar dentingan gitar mengiringi
kelompok anak-anak muda yang sedang menyanyikan lagu-lagu rakyat. Latar
belakang sejarah inilah tampaknya yang merupakan salah satu aspek yang
telah menyebabkan adanya keberanian pada para investor asing untuk
menanamkan modalnya dalam sektor musik khususnya gitar, serta sambutan
hangat dari masyarakat ketika pendidikan gitar ditawarkan.
Kehidupan pergitaran di Indonesia di sekitar tahun 70-an
Berdirinya sekolah-sekolah musik swasta pada sekitar tahun 70-an sangat
membantu penyebaran minat bermain gitar di Indonesia. Buah dari
menjamurnya kursus-kursus musik tersebut adalah suatu peningkatan yang
subur dan drastis jumlah para amatir, diletan dan gitaris-gitaris muda
berbakat. Minat masyarakat yang senantiasa meningkat terhadap pendidikan
gitar telah mendorong didirikannya lebih banyak lagi sekolah-sekolah
musik baru. Di samping itu bermacam-macam metode pengajaran dari produk
luar negeripun telah ditawarkan. Hal ini telah menantang para ahli
pendidikan musik yang berspesialisasi gitar untuk memikirkan dan
menyusun suatu metode pengajaran gitar yang paling cocok untuk
masyarakat Indonesia.
Peranan para amatir dan diletan dalam pengembangan kehidupan musik gitar
di negara kita cukup besar. Hal ini didukung dengan selalu bertambahnya
pendukung gitar yang di antaranya terdiri dari para amatir yang
mempelajari gitar tanpa mendalaminya. Walaupun di antara mereka tidak
selalu bisa memainkan musik pada tingkat kesulitan menengah sekalipun,
namun minat dan perhatiannya terhadap gitar amat besar. Di samping telah
menjadi audiens terbaik, tidak sedikit di antara mereka yang telah rela
mengorbankan sebagian dari kekayaan materilnya untuk perkembangan musik
gitar. Kondisi seperti ini telah sangat membantu para pendidik gitar
dalam merealisasikan cita-cita mereka yaitu membangun suatu kehidupan
musik yang sehat.
Menjelang permulaan tahun 1980, Indonesia telah memiliki gitaris-gitaris
profesional yang cukup diperhitungkan. Di antara mereka ialah Carl
Tangyong yang pernah belajar di Roma, Itali, dan Rully Budiono, seorang
lulusan program diploma sebuah konservatori musik di Wina, Austria.
Produksi musikal mereka terdiri dari dari konser-konser di kota-kota
besar dan rekaman-rekaman kaset. Produktivitas mereka, di samping telah
membangkitkan semangat para amatir dan diletan, juga telah menumbuhkan
apresiasi yang baik dan kepercayaan dari para pencinta gitar atas
kemampuan bermusik bangsa Indonesia.
Sebagai salah satu reaksi internasional dari perkembangan gitar yang
sehat ini adalah didatangkannya gitaris-gitaris berkaliber dunia seperti
Julian Bizantine, David Russell dan John Mills dari Kerajaan Inggris,
Jean Piere Jumez dari Perancis, dan Sigfried Behrend dari Jerman, untuk
memberikan resital-resital dan workshop-workshop bagi masyarakat
pergitaran kita. Tanggapan mereka yang sangat positif terhadap
perkembangan gitar di tanah air telah menimbulkan pengaruh yang amat
besar terhadap perkembangan dunia pergitaran Indonesia. Tidaklah heran
jika dalam waktu yang singkat gitaris-gitaris muda Indonesia mulai
dikenal melalui prestasinya dalam kompetisi-kompetisi internasional di
kawasan Asia Tenggara.
Peranan gitaris-gitaris muda Indonesia dalam forum internasional
Di Asia Tenggara seni pertunjukan gitar klasik sudah lama berkembang.
Walaupun dapat dikatakan bahwa di antara negara-negara tetangganya
keberadaan gitar klasik di Indonesia masih sangat muda, namun dalam
tempo yang relatif singkat gitaris-gitaris muda Indonesia telah mampu
menunjukkan kebolehan kualitasnya di kawasan ini. Perkembangan gitar di
Indonesia dan gebrakan aksi gitaris-gitaris muda kita dalam forum
internasional seperti kompetisi gitar se-Asia Tenggara pada tahun
1977-79 telah memacu perkembangan gitar di kawasan ini.
Guna meningkatkan kehidupan pergitaran di kawasan Asia Tenggara,
beberapa sekolah musik di Indonesia dan beberapa negara tetangganya yang
tergabung dalam suatu sistem pendidikan musik Yamaha, sepakat untuk
menyelenggarakan suatu forum pertemuan antar gitaris se-Asia Tenggara.
Sebagai tindak lanjutnya maka atas sponsor dari Yamaha Music Foundation,
Tokyo, pada tahun 1977 telah diselenggarakan The 1st South East Asian
Guitar Festival (SEAGF 1977) yang merupakan kompetisi gitar pertama di
kawasan Asia Tenggara. Kompetisi tersebut mengambil tempat di Hotel
Hilton, Jakarta. Pesertanya terdiri dari masing-masing dua gitaris untuk
wakil setiap negara yang terdiri dari Indonesia, Singapura, Malaysia,
Thailand, Taiwan, Philipine, dan Hongkong. Kompetisi tersebut dibagi ke
dalam dua kategori yaitu bagian klasik dan non-klasik. Untuk bagian
non-klasik peserta membawakan karya-karya non klasik baik dengan media
gitar klasik maupun jenis-jenis gitar akustik non-elektrik lainnya.
Dari pengalaman penulis yang ketika itu juga berpartisipasi sebagai
peserta babak final pada kompetisi tersebut, dapat diperoleh suatu
gambaran nyata bahwa gitaris-gitaris Indonesia umumnya memiliki tingkat
ketrampilan dan musikalitas yang relatif lebih tinggi dibanding
gitaris-gitaris unggulan negara-negara lain. Demikian pula dengan
repertoar pilihan yang kami bawakan, jauh berada diatas para lain. Oleh
karena itu tidak heran jika Juara pertama, baik pada saat itu maupun
pada penyelenggaraan tahun-tahun berikutnya, umumnya jatuh pada peserta
Indonesia. Juara untuk kategori klasik pada saat itu ialah Linda
Sukamta, gitaris putri dari Bandung, sedangkan untuk non-klasik
dimenangkan oleh Michael Gan dari Jakarta.
Pada penyelenggaraan kedua SEAGF 1978, kembali penulis berhasil masuk ke
babak final yang waktu itu diselenggarakan di Bangkok, Thailand. Kali
ini penulis berhasil mengharumkan nama Indonesia dengan memenangkan
juara pertama untuk kategori klasik dalam kompetisi tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam dua kompetisi terakhir SEAGF Indonesia unggul
dalam kategori klasik. Bahkan tidak cukup hanya sampai di situ, pada
putaran SEAGF dua tahun berikutnya di Singapura, nama Indonesia kembali
harum di kawasan Asia Tenggara dengan berhasilnya gitaris muda kita,
Royke B. Koapaha dari Bandung, sebagai juara pertama.
Pelajaran penting yang dapat kita petik dari kompetisi SEAGF
Dalam rangkaian acara SEAGF 1978 penulis sempat memancing informasi
tentang perkembangan pendidikan gitar di negara-negara lain melalui para
peserta dan anggota delegasi yang mendampingi mereka. Umumnya metode
pengajaran yang diterapkan tidak jauh berbeda dengan kita. Kelebihan
mereka umumnya terletak pada fasilitas pendidikan yang lebih lengkap
dan didukung komunikasi yang terbuka dengan dunia pergitaran
internasional. Fasilitas peserta negara lain yang sangat mendukung
penampilan mereka ialah digunakannya gitar-gitar impor bermerek yang
berkualitas hand made dari Eropa dan Jepang. Pada saat itu penulis
sendiri menggunakan gitar buatan Inggris namun kualitasnya masih berada
di bawah gitar-gitar mereka.
Dari kedua penyelenggaraan SEAGF yang pernah penulis ikuti, terdapat
catatan penting yang di antaranya ialah standar repertoar pilihan para
peserta rata-rata seimbang. Yang menarik ialah bahwa pilihan repertoar
yang mereka bawakan umumnya sesuai dengan ijazah grade yang mereka
peroleh sementara umumnya peserta Indonesia memainkan karya-karya pada
tingkat tertinggi walaupun secara resmi baru memiliki ijazah grade yang
rendah. Memainkan karya yang terlalu jauh di atas ijazah grade yang
dimiliki tentu saja merupakan perkecualian dan bukan merupakan contoh
yang perlu diteladani dalam proses pendidikan musik yang baik. Walaupun
demikian dalam suatu kompetisi apapun (musik maupun bela diri, misalnya)
kepemilikan ijazah tingkat pendidikan umumnya tidak pernah menjadi
bahan pertimbangan.
Kecuali para peserta dari Indonesia yang sebagian besar adalah
murid-murid, peserta untuk kategori klasik dari negara lain pada kedua
kompetisi tersebut umumnya terdiri dari guru-guru gitar profesional.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa bukanlah hal yang mudah bagi guru gitar
untuk menghasilkan muri-murid yang handal sehingga guru sendiri terpaksa
perlu turun tangan dalam kompetisi.
Dalam dunia pendidikan musik siswa yang serius umumnya diarahkan kepada
salah satu dari dua jalur profesi yaitu untuk menjadi penyaji musik
(artis) atau guru. Oleh karena itu, sesuai dengan bakatnya seorang murid
gitar yang serius perlu memikirkan pilihan masa depan profesinya sejak
pertengahan masa studinya. Hal utama yang perlu dipertimbangkan ialah
bahwa kesempatan berlatih seorang guru umumnya lebih sedikit
dibandingkan seorang penyaji musik. Sehubungan dengan itu jarang sekali
terjadi seorang guru merangkap sebagai penyaji musik. Walaupu demikian
peranan pendidik-pendidik musik yang profesional sangat besar dalam
pembangunan kehidupan musik yang sehat. Oleh karena itu keberadaan
mereka masih amat dibutuhkan di negara kita.
Titik tolak pendidikan gitar klasik di Indonesia
Dapat dikatakan bahwa tahun 70-an merupakan titik tolak pengembangan
pendidikan gitar klasik di Indonesia. Gejala ini ditandai dengan (1)
meningkatnya pelayanan minat masyarakat dalam mempelajari gitar melalui
lembaga-lembaga kursus musik swasta yang disponsori
perusahaan-perusahaan Jepang; (2) datangnya bantuan resmi pemerintah
Belanda dalam membina calon-calon guru gitar melalui program intensif
yang dikelola pemerintah di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta,
Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya; dan (3) dibukanya bidang studi
praktek gitar pada jenjang perguruan tinggi.
Hingga pertengahan tahun 70-an sudah terdapat banyak sekolah musik
swasta yang menyediakan kursus gitar, baik di kota-kota besar maupun
kecil di wilayah Indonesia bagian Barat. Berbagai macam teknik dan
metode praktis ditawarkan dengan tujuan dasar yang sama yaitu
memperkenalkan suatu cara bermain gitar yang lebih dari sekedar
memainkan akor-akor pengiring nyanyian. Teknik bermain gitar klasik
diperkenalkan melaui pendekatan-pendekatan yang mudah dan menyenangkan
dengan melibatkan dasar-dasar umum permainan gitar. Gaya pengajaran
kelas yang santai dan sistem ujian yang menarik dari metode-metode
tersebut telah menghasilkan siswa-siswa baru yang dapat menguasai
ketrampilan dasar bermain gitar secara komprehensif dalam waktu yang
relatif singkat. Sayangnya kurikulum yang ditawarkan kepada siswa masih
terbatas hingga tingkat ketrampilan menengah.
Berbeda dengan kursus-kursus swasta lainnya, Yayasan Pendidikan Musik
(YPM) di Manggarai, Jakarta, yang saat itu diyakini sebagai sekolah
musik termaju di Indonesia, menerapkan suatu metode lain. Sekolah ini
mengarahkan agar siswa dapat mengenal musik secara utuh melalui
pengajaran teori-teori musik secara terpisah dari tutorial individual
praktikum instrumen musik. Kelas gitar pada lembaga ini sudah lama ada
sebelum tahun 70-an di bawah koordinasi gitaris Adis Sugata. Walaupun
sistem pendidikan musiknya secara umum cukup baik namun dalam pengajaran
praktek gitar mereka masih menggunakan metode lama seperti misalnya,
Carcassi dan Carulli.
Pendidikan gitar di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan sejak
kehadiran sebuah kelompok musik kamar dari Belanda, Dick Visser Guitar
Trio, pada tahun 1977. Suatu hal yang menguntungkan bahwa Dick Visser,
pimpinan trio tersebut, adalah seorang pejabat dinas kebudayaan di
Belanda pada masa itu. Di samping spesialisasinya sebagai komponis
gitar, ia juga seorang pendidik gitar senior, profesor dan dekan di
Konservatorium Amsterdam, Belanda. Melalui beliaulah telah terjadi suatu
jalinan kerja sama di antara pemerintah Belanda dan Indonesia untuk
mengembangkan pendidikan gitar klasik di tanah air.
Dick Visser telah menyumbangkan suatu kontribusi yang besar terhadap
perkembangan gitar klasik di Belanda. Kontribusi terpentingnya ialah
penemuan teknik baru yang merupakan sintesis dari berbagai teknik
bermain gitar terdahulu terutama Tarrega dan Pujol yang dikembangkan
pada paruh kedua abad ke-19 dan teknik Segovia pada paruh pertama abad
ke-20. Penemuannya tersebut telah dituangkan ke dalam suatu paket
terbitan yang lengkap dari seluruh teknik permainan gitar klasik dan
sejumlah etude serta kumpulan 24 etude yang ditulis pada seluruh tanda
kunci mayor dan minor. Ia bahkan telah menerapkan ide tekniknya ke dalam
seluruh komposisi kontemporernya dan juga edisi dan transkripsi
beberapa karya-karya standar secara konsisten.
Perhatian Dick Visser sangat besar terhadap perkembangan gitar di
Indonesia yang dinamis. Beliau sangat berniat untuk membantu
perkembangan pendidikan musik dan mensosialisasikan metodenya di
Indonesia. Dalam waktu yang tidak lama maka pemerintah Belanda mengirim
seorang pedagog gitar berkualifikasi ganda di bidang penyajian
(performance) dan pendidikan, Yos Bredie. Guru gitar tersebut adalah
lulusan Konservatorium Amsterdam, salah seorang murid terbaik Dick
Visser. Beliau dikirim untuk memberikan pelatihan intensif selama satu
setengah tahun pada para guru dan calon guru gitar di kota-kota besar
pulau Jawa dan Bali. Penataran tersebut diikuti oleh guru-guru gitar dan
peminat-peminat lain dalam jumlah terbatas yang diterima melalui audisi
atau rekomendasi sekolah musik. Beruntung bahwa penulis yang saat itu
masih duduk di bangku SMU dan berstatus sebagai murid gitar, bersama
dengan gitaris-gitaris muda lain yang di antaranya ialah Iwan Irawan,
Royke B. Koapaha dan Ferry Tambunan dari Bandung, telah diterima sebagai
peserta dalam pelatihan tersebut.
Di samping mempelajari dan mempraktekkan teknik Dick Visser yang lebih
mengutamakan perkembangan tangan kiri, peserta pelatihan menerima
pelajaran-pelajaran teori penunjang lainnya. Pelajaran-pelajaran
tersebut di antaranya ialah ilmu sejarah musik, kontrapung, dan harmoni
yang diarahkan kepada komposisi dan aransemen untuk gitar. Pelajaran
pelengkap lain ialah kelas musik kamar yang menitikberatkan
ensembel-ensembel kecil seperti duet, trio, dan kwartet gitar.
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan bantuan Belanda yang
diselenggarakan oleh pemerintah pada awal tahun 1980, departemen gitar
YPM membuka program persiapan konservatori yang diikuti sepuluh siswa
dari Bandung dan Jakarta (termasuk penulis). Satu semester sebelumnya,
pada tahun 1979 Akademi Musik Indonesia (AMI) di Yogyakarta yang berada
di bawah pengelolaan pemerintah, telah lebih dahulu membuka departemen
gitar untuk program yang lebih tinggi dari diploma (setingkat D3) yaitu
gelar Seniman setingkat Sarjana (setingkat S1). Secara operasional
pengajaran praktek gitar dan subjek-subjek terkait pada kedua program
tindak lanjut yang dikelola oleh swasta (YPM) dan pemerintah (AMI)
tersebut dilaksanakan oleh Yos Bredie karena saat itu belum ada dosen
gitar yang dianggap memenuhi persyaratan akademis.
Sayang bahwa program persiapan konservatori di YPM hanya berlangsung
selama dua semester saja. Untuk mengantisipasi kesinambungan belajar
maka sambil melengkapi studi di YPM pada semester kedua penulis
mengambil studi komposisi di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) .
Setelah berakhirnya masa studi di YPM (akhir tahun 1980), penulis
pindah ke Jurusan Gitar LPKJ selama satu semester dan pada semester
berikutnya (pertengahan tahun 1981) melanjutkan ke program gelar di AMI
Yogyakarta.
Beberapa tahun sebelum program gitar di AMI dibuka, aktivitas pendidikan
tinggi untuk gitar pada telah dilaksanakan di LPKJ. Sistem
pendidikannya kurang lebih serupa dengan YPM namun lebih lengkap sebagai
suatu pendidikan di sekolah tinggi. Jenjang pendidikan gitar di lembaga
ini dikelompokkan ke dalam dua tingkat yaitu Tahap Studi Dasar dan
Tahap Studi Akhir. Di bawah asuhan Reiner Wildt, seorang dosen warga
Indonesia berdarah Jerman, teknik yang diterapkan pada para mahasiswa
gitar pada dasarnya mengacu secara fanatik kepada teknik Segovia dengan
perhatian utama pada pengembangan teknik tangan kanan. Suatu kelebihan
yang ada pada sistem pendidikan gitar di lembaga ini ialah perluasan
repertoar yang tidak hanya meliputi karya-karya solo dan ensembel gitar
tapi juga musik kamar yang melibatkan alat-alat musik lain seperti
kombinasi gitar dengan kwartet gesek atau alat-alat musik orkestra
lainnya.
Sejajar dengan program Sarjana (S1), program pendidikan musik di AMI
memakan waktu minimal 9 semester. Program studi yang diterapkan pada
masa itu ialah: Musik Sekolah (MS), Sastra Musik (SM) dan Teori
Komposisi (TK). Kecuali program MS dan TK yang mempersyaratkan Skripsi
untuk melengkapi studinya, para mahasiswa SM yang tergolong paling kecil
populasinya, dituntut untuk melakukan resital sebagai pengganti
skripsi. Karena tertarik dengan pengembangan ketrampilan bermain gitar
maka penulis memilih program SM.
Posisi pelajaran gitar pada saat itu ialah sebagai instrumen mayor
disamping dua instrumen wajib lainnya yaitu piano komplementer dan
instrumen minor pilihan. Mata kuliah terkait lain seperti sejarah gitar,
konstruksi gitar dan kelas repertoar gitar diintegrasikan ke dalam mata
kuliah Praktek Individual Instrumen Mayor (PIIM). Sementara itu
ensembel gitar mendapat wadah tersendiri sebagai alternatif dari mata
kuliah Orkes dan Koor.
Pages
perkembangan gitar klasik
Diposting oleh
Deris
Senin, 05 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Subscription
Search this blog
clock1
callender
Cuteki greetings
spongebob
Popular Posts
-
Inilah 5 Gitaris Terbaik Indonesia ! Ian Antono Ian Antono yang memiliki nama asli Jusuf Antono Djojo lahir di Malang, Jawa Timur,...
-
Gitar dengan senar nylon adalah termasuk kategori gitar klasik. Ciri-ciri gitar klasik adalah mempunyai neck atau fretboard yang lebar. G...
-
1. Posisi Jari Posisi tangan kiri yang terbaik adalah dengan posisi "one fret per finger", artinya setiap jari (kecuali ibu jar...
-
Plektrum adalah sepotong kecil material keras yang umumnya dipegang dengan jempol dan telunjuk dan digunakan untuk memetik dan membunyika...
-
Dabo,LP( 1/1 ) – Tak ada satupun gitaris di muka bumi ini yang menyangkal bahwa eksistensi Jimi Hendrix memberikan pengaruh luas dikalan...
-
Gitar elektrik adalah gitar yang dirancang agar bunyi yang dihasilkan dapat diperkuat secara elektrik dan jika dimainkan tanpa penguatan ...
-
Gitar akustik memiliki bagian badan yang berlubang ( hollow body ) dan dapat menghasilkan suara yang relatif cukup keras tanpa penguatan ...
-
Sementara besarnya suara gitar akustik bergantung pada getaran bodinya yang diperlengkapi dengan ruang udara, besarnya suara sebuah gitar ...
-
1. Fender Gitar ini sangat populer dan layak dipertimbangkan sebagai merek terbaik di dunia.
Blog Archive
-
▼
2012
(27)
-
▼
Maret
(22)
- GITARIS TERBAIK DI INDONESIA
- GITAR STEEL STRING
- GITAR NYLON STRING
- YAMAHA ELEXTRIC ACOUSTIC GUITAR
- CANON ROCK
- JIMI HENDRIX PENDEKAR GITAR DUNIA
- gitar terbaik dunia
- TERMAHAL DI DUNIA
- perkembangan gitar klasik
- GITARIS TERCEPAT DI DUNIA
- GITARIS WANITA TERBAIK INDONESIA
- 7 GITARIS TERHEBAT DI DUNIA
- CARA CEPAT MELATIH KECEPATAN TANGAN
- TEKNIK BERMAIN GITAR
- 5 JURUS CARA BERMAIN GITAR
- MANFAAT GITAR
- GITAR EFEK
- KONTRUKSI GITAR
- PLEKTRUM GITAR
- STRAP GITAR
- GITAR ELEKTRIK
- GITAR AKUSTIK
-
▼
Maret
(22)
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
Network
clock
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar